ARTIKEL: JEJAK ISLAM DI SUKABUMI
JEJAK
ISLAM DI SUKABUMI
Siti Suaebah
Abstrak
Berbicara
tentang agama islam dalam bingkai sejarah Sukabumi tentu tidak terlepas dari
kepercayaan yang ada baik sebelum maupun sesudah masuknya islam. Sebelum islam
masuk maka bukti-bukti kepercayaan awal bisa dilihat dari situs-situs
megalitikum yang bertebaran di Sukabumi. Metode yang digunakan dalam penyebaran
islam ke Sukabumi diantaranya melalui perkawinan, perdagangan, pendidikan, seni
budaya dan tassawuf. Para pendakwah tersebut memasuki kampung-kampung sekitaran
Sukabumi dengan prinsip “Alladzina yandzurunal ummah bi’ainirrahmah”, mereka
memandang umat dengan pandangan penuh kasih dan sayang sehingga
masyarakat yang awalnya menentang keras kemudian menjadi tertarik untuk belajar
islam. Maka tak jarang para pendakwah menjadi kokolot kampung dan pembuka
kampung awal yang sangat dihormati. Misalnya Eyang Dalem Fatra Santana di
pekuburan Nyangkowek Cisaat dan Syekh Tubagus Tanjung Gunung Guruh.
PENDAHULUAN
Sejarah
Sukabumi baik kabupaten maupun kota tak lepas dari keberadaan islam sebagai
agama yang mayoritas dianut oleh masyarakat Sukabumi. Tanpa menafikan peran
agama lainnya, Islam secara kepercayaan maupun peradaban mewarnai sejarah
Sukabumi secara lintas jaman, bahkan bercampur aduk dengan kepercayaan masa
purba dalam beberapa prakteknya.
Berbicara
tentang agama islam dalam bingkai sejarah Sukabumi tentu tidak terlepas dari
kepercayaan yang ada baik sebelum maupun sesudah masuknya islam. Sebelum islam
masuk maka bukti-bukti kepercayaan awal bisa dilihat dari situs-situs
megalitikum yang bertebaran di Sukabumi.
Misalnya
di kadudampit ada Situs Batu Kabayan berupa menhir batu, di kampung tugu
Sukaraja ada juga Batu nangtung, di Cengkuk Pelabuhanratu adAa tugu nangtung
dan batu-batu ritual lainnya, di cicurug ada batu bergores, batu kujang. Media
batu menjadi ciri kuat dalam ritual peribadatan masa lalu di Sukabumi.
PEMBAHASAN
A. Sejarah
Singkat Sukabumi
Tidak
banyak ditemukan literature mengenai sejarah Sukabumi. Dalam buku sejarah
suabumi yang ditulis oleh Ruyatna jaya, disebutkan bahwa penguasa pertama
kawasan ini seorang Raja bernama Dewawarman (130-168M). buktinya adalah altar
batu situ Tugu Gede di Cisolok, arca siwan di Jampang Tengan yang tersimpan di
Museum Sribaduga, Bandung. Kawasan ini kemudian masuk ke dalam kerajaan
Pajajaran.
Perkembangan paling penting terjadi
pada 25 januari 1813 ketika seorang ahli bedah bernama Dr. Andries de Wilde
membeli tanah yang meliputi 5/12 wilayah yang kini meliputi kabupaten sukabumi
dengan harga 58 ringit spanyol. Batas tanahnya di timur sungai cikupa, selatan
sungai Cimandiri, Utara lereng Gunung Gede pangrango dan batas ke barat Batavia
dan Bogor.
Pada
8 januari Cikole dinamakan Sukabumi. Saat Andries de Wilde mengelola wilayah
ini dengan baik bekerjasama dengan para kokolot dan ulama (yang disebutnya
imam). Para kokolot kemudian mengajukan nama untuk tanah yang diolahnya ini
yaitu Sukabumi yang berarti kesenangan di bumi atau tempat yang membuat kita
betah untuk tinggal alias bumen-bumen.
B. Masuknya
Islam ke Sukabumi
Pertanyaan
yang sering menggelitik banyak orang Sukabumi adalah kapan Islam masuk ke
Sukabumi? wacana yang berkembang kuat adalah pendapat yang menyebutkan bahwa
islam masuk ke Sukabumi pada masa Sunan Gunung Jati dan Syekh Makhdum sekitar
tahun 1480 hingga pertengahan 1500an.
Namun
ada fakta lain yang menarik yaitu temuan Batu Giok, Mushaf Quran dan Kujang
berangka arab 740 di sekitar Pesantren Panjalu Selabintana saat penggalian
fondasi sebuah bangunan. Jika kita asumsikan angka 740 arab sebagai Hijriyah
maka dalam masehi sekitar tahun 1340.
Yang
lebih menarik lagi dalam salah satu versi sejarah Sunda (Naskah Carita Puwaka
Caruban Nagari) disebutkan bahwa Nyi Subang Larang, istri Kedua Prabu Siiwangi
yang sudah muslim mempunyai tiga orang anak yaitu: Walasungsang, Lara Santang
dan Raja Sengara. Konon Raja Sengara ini dikenal Masyarakat sebagai Kian
Santang.
Sesudah
beliau menunaikan ibadah haji Raja Sangara merubah namanya menjadi Haji Mansyur
dan melakukan perjalanan dakwah ke wilayah Pajajaran Tengah yaitu sekitar
Sukabumi Bogor Cianjur. Sementara Sunan Gunung Jati adalah anaknya Lara
Santang, jadi dalam versi ini Sebelum Sunan Gunung Jati berdakwah ke Priangan,
Pamannya sudah duluan berdakwah.
Metode
yang digunakan dalam penyebaran islam ke Sukabumi diantaranya melalui
perkawinan, perdagangan, pendidikan, seni budaya dan tassawuf. Menurut Edy S.
Ekadjati penyebaran yang masuk ke Sukabumi pada masa itu terutama dari 2 titik
yaitu Cirebon dan Banten.
Para
pendakwah tersebut memasuki kampung-kampung sekitaran Sukabumi dengan
prinsip “Alladzina yandzurunal ummah
bi’ainirrahmah”, mereka memandang umat dengan pandangan penuh kasih
dan sayang sehingga masyarakat yang awalnya menentang keras kemudian menjadi
tertarik untuk belajar islam.
Maka
tak jarang para pendakwah menjadi kokolot kampung dan pembuka kampung awal yang
sangat dihormati. Misalnya Eyang Dalem Fatra Santana di pekuburan Nyangkowek
Cisaat dan Syekh Tubagus Tanjung Gunung Guruh.
Kuburan
para pendakwah seringkali diletakan ditempat tinggi seperti bukit bahkan
ditempatkan pada situs megalitikum kuno seperti kuburan Eyang Gentar bumi
seorang penyebar islam dari Banten yang konon memiliki kesaktian tinggi,
dikuburkan diatas punden berundak di Pangguyangan.
Masyarakat
juga seringkali membumbui kisah mistis dengan tujuan melindungi kuburan dari
tangan-tangan jahil sehingga orang akan berfikir puluhan kali jika hendak
merusak kuburan karena takut akan kejadian buruk. Begitulah cara menghormati
para pendakwah di masa lalu.
Pasca
runtuhnya Pajajaran oleh Kerajaan banten menyebabkan Penyebaran Islam semakin
pesat karena Sukabumi ibarat tanah tak bertuan, Banten sempat merangsek sampai
Gunung Walat dan Kutawesi (Kota Sukabumi) sehingga masyarakat saat itu
mengungsi ke Gunung Guruh. Namun pasca serangan, Pasukan Banten meninggalkannya
begitu saja seperti juga Kota Pakuan.
Sesudah
itu muncul kekuatan baru bernama Mataram yang menguasai Priangan dan mengklaim
wilayah Sukabumi sebagai bagiannya dengan simbol kekuasaan Cianjur, namun lagi-lagi
wilayah selatan terutama Jampang masih independen yang dipimpin seorang
Umbul/Cutak. Para pendakwah dengan leluasa memasuki wilayah Sukabumi dari arah
barat (Banten), utara (sagaraherang) maupun timur (Banten dan mataram).
Bahkan
menurut sebuah kisah, Aria Wangsagoparana yang menurunkan para bupati Cianjur,
sudah berdakwah ke wilayah Sukabumi sejak tahun 1530. Mereka datang dari
berbagai profesi karena dakwah dianggap sebagai salah satu kewajiban muslim
yang harus ditunaikan. Sesuai ungkapan Imam Syahid Hasan Albana “ Nahnu duat
qabla kulla sai “ artinya kami adalah da’i sebelum profesi-profesi lainnya.
Maka
tak heran islam berkembang dengan pesat, selain karena ajarannya sendiri yang
mudah diterima masyarakat. Ajaran islam yang sederhana, cara masuk islam yang
mudah (hanya dengan dua kalimah syahadat), tak mengenal kasta, upacara ritual
yang sederhana dan didakwahkan secara damai menyebabkan masyarakat tak
melakukan penentangan.
Para
pendakwah juga tak mengenal perbedaan bangsa, selain bangsa arab yang fokus
berdakwah ada juga bangsa Tionghoa seperti Tan Sam Cay (Muhamad Syafei) masih
saudara Sunan Gunung Jati dari istrinya seorang putri Tionghoa. Tan Sam Cay
melakukan dakwah ke wilayah bekas pajajaran tengah diantaranya bogor, Sukabumi
dan Cianjur.
Bahkan
ada dua kuburan di gunung rahayu Pelabuhanratu yang konon makam pendakwah
Tionghoa bernama Qudratullah dan Diqudratullah (Raden Cengkal).
Masuknya
orang-orang Eropa terutama bangsa Belanda menjadi titik balik baru, mereka
datang untuk berdagang dengan hanya membawa 4 kapal dan 200an awak kapal, namun
akhirnya bisa menguasai seluruh nusantara. Mereka membawa misi Gold, Gospel
& Glory yaitu mencari kekayaan, menyebarkan kekristenan dan kejayaan
bangsa.
Kekayaan
yang dicari dari wilayah kita adalah rempah-rempah. Mereka membeli
rempah-rempah dari para penguasa lokal sehingga siapapun akan merasa senang
dengan datangnya pembeli.
Namun
mereka ternyata bukan sekedar pedagang karena mempunyai tentara, membuat mata
uang dan mewakili negara sehingga mirip negara kapal. Lambat laun mereka mulai
masuk menjadi backing penguasa lokal secara ekonomi dan militer dan masuk dalam
setiap konflik membantu salah satu kelompok yang berseteru.
Namun
mereka selalu menyisipkan syarat kompensasi yaitu penguasaan tanah. Hal ini menimbulkan
konflik, salah seorang ulama asal Sulawesi yang bermukim di Banten yaitu Syekh
Yusuf Al Makasari bergerilya di wilayah Jampang pada tahun 1683 untuk melawan
VOC akibat konflik putra kerajaan yang dibantu VOC dengan Sultan Ageng
Tirtayasa di Banten.
Putra
Sultan Banten lainnya yaitu Pangeran Purbaya juga bergerilya dilereng gunung
gede sekitar nagrak yang kemudian ditangkap oleh Untung Suropati. Meskipun
terjadi beberapa pertikaian, akan tetapi dakwah terus berjalan, rekan Syekh
Yusuf yaitu Syekh Abdul Muhyi yang sama-sama menimba ilmu pada Syekh Aburauf
Assingkili (Aceh) terus menyebarkan islam di Sukabumi dan wilayah priangan
selatan lainnya.
Wilayah
Sukabumi akhirnya menjadi korban strategi licik VOC ini sehingga diserahkan
oleh Mataram tahun 1677 kepada VOC atas jasa VOC membantu menumpas
pemberontakan Trunojoyo.
VOC
kemudian merubah perannya dari bangsa pedagang menjadi penguasa teritori,
mereka kemudian memutar otak untuk menguras tanah yang sudah dikuasai. Sepuluh
tahun kemudian (1687) mereka mengirimkan Letnan Tanujiwa dan Sersan Scipio ke
Sukabumi tepatnya ke Gunung Guruh kemudian menyusuri lokasi menuju
Pelabuhanratu untuk melakukan survey.
Dari
Survey itulah kemudian diketahui betapa suburnya tanah ini sehingga akhirnya
ditanami komoditas yang laku dipasaran internasional seperti Kopi dan Nila.
Caranya dengan bekerjasama dengan penguasa lokal yaitu Wiratanudatar di Cianjur
untuk menguras kekayaan alamnya secara paksa melalui sistem cultuur stelsel
(Tanam Paksa). Pemaksaan in tentunya
mendapat tentangan diantaranya adalah pemberontakan seorang ulama Jampang
bernama Prawatasari yang dijuluki Karaman Jawa selama 5 tahun lamanya.
Dalam
pengumuman Joan Van Hoorn disebut sebagai Paap (kepala agama semacam
bapa/father/pope) Prawata melakukan pemberontakan yang lebih dahsyat dari
perang diponegoro karena cakupan gerilyanya mulai dari pinggiran Batavia,
Bogor, Sukabumi, Cianjur, Garut bahkan sampai Jawa tengah sebelah barat dengan
melibatkan 3000 orang Jampang, durasi perangnya juga cukup lama mulai 1702
sampai 1707.
Tiga
tahun Sesudah ditumpasnya Prawatasari yaitu tahun 1710, dilaporkan bahwa di
daerah Jampang, petani setempat telah melakukan perlawanan terhadap
ketentuan-ketentuan Kompeni yang membebani kehidupan mereka. Perlawanan itu
dipimpin oleh seorang ulama dengan melibatkan sekitar 1.000 orang petani. Konon
mereka ditumpas dengan melibatkan pengkhianat yang menyebabkan mereka saling
bertikai satu sama lain, sang ulama kemudian dibawa ke Batavia dengan dirantai.
Tiga
tahun kemudian, di tempat yang hampir sama kembali muncul aksi kolektif
menentang para bupati Kompeni. Pemimpin aksi itu yang mengaku bernama
Dermakusuma yang mendapat dukungan dua orang ulama bernama Tanuputra dan
Wiradana berjanji akan membunuh bupati Cianjur, Cibalagung, Cikalong, dan
Cileungsir.
Namun
sebelum kelompok Dermakusuma berbuat banyak, pasukan Kompeni berhasil mendesak
dan mengusir kelompok itu keluar wilayah Sukabumi. Dermakusuma ditangkap dan
dibuang ke Ceylon (Srilanka). Sampai abad ke-19 pemberontakan-pemberontakan meskipun
dalam skala kecil selalu terjadi di Jampang. kemudian Demakusuma dan para ulama
lainnya menyatakan jihad tak pernah berhenti menyerang pasukan VOC. Akibat hal
ini akhirnya wilayah Jampang dan pelabuhanratu dimasukan ke wilayah Cianjur
dikontrol langsung Bupati lokal.
VOC
terus melakukan penumpasan terhadap setiap gerakan kalangan islam dengan
bantuan kekuasaan penguasa lokal, bahkan pasukan VOC juga direkrut dari orang
lokal dan sebagian besar muslim seperti orang Jawa, Sunda, Ambon, Bali, Madura
dan Timor.
Pada
masa ini muncul pula pendakwah dari mataram yang sebenarnya para prajurit
mataram yang desersi pasca serangan Mataram ke Batavia 1624. Sebut saja
Syaofidin Al Matromiy yang kuburannya berada dekat Mesjid Agung Sukabumi,
kemudian Eyang Bale Rante yang kuburannya sudah menjadi gudang Supermall.
Ada
pula para penyebar islam yang sebenarnya ningrat lokal seperti Sanghyang Borosngora (kuburannya di Ciambar)
yang sempat membentuk kaukus muslim lokal dalam konferensi Gunung Bengbreng
tahun 1650 bersama Aria Wiratanudatar dengan pemberitahuan kepada VOC bahwa
negri mereka tidak tunduk pada mataram maupun VOC tetapi tunduk kepada Allah
SWT (dagregister 1666).
Sesudah
kebangkrutan VOC maka wilayah Sukabumi kemudian dikuasai oleh Republik Bataaf
yaitu kaki tangan Napoleon di Belanda. Daendels yang dikenal dengan sebutan
Jendral Mas galak dan dikenal membuat jalan anyer Panarukan dikirimkan ke pulau
Jawa. Kemudian datang lagi kekuasaan baru yaitu inggris melalui Thomas Raffles
yang mengalahkan pasukan Bataaf. Pada masa inilah wilayah Sukabumi dijual
kepada seorang pengusaha bekas mantri kuris dan dokter bedah bernama Andries De
Wilde.
Saat
Andries de Wilde mengelola wilayah ini dengan baik bekerjasama dengan para
kokolot dan ulama (yang disebutnya imam). Para kokolot kemudian mengajukan nama
untuk tanah yang diolahnya ini yaitu Sukabumi yang berarti kesenangan di bumi
atau tempat yang membuat kita betah untuk tinggal alias bumen-bumen.
Konon
pengajuan ini disetujui para ulama dari ayat Quran QS. Al-Baqarah: Ayat 36
"Dan bagi kamu ada tempat tinggal dan kesenangan di bumi sampai waktu yang
ditentukan". Semenjak itu hingga diambil alih oleh pemerintah Hindia
Belanda, nama Sukabumi terus digunakan untuk menamai wilayah ini. Pada masa pemerintah Hindia Belanda secara
maksimal kekayaan alam Sukabumi diolah dan diperas sedemikian rupa melalui
tanam paksa yang dikelola pemerintah dan UU Agraria yang membolehkan pihak
swasta untuk menyewa lahan selama 75 tahun.
Meskipun
ada pengurasan sumberdaya alam dan manusia, namun ada dampak positif terhadap
wilayah Sukabumi yaitu pembangunan infrastruktur misalnya perkebunan teh
Sinagar menjadi perkebunan terbesar di dunia, alat pengolah teh yang paling
canggih seperti ban berjalan digunakan di Sukabumi, Jalan kereta api dibangun,
Sanatorium terbaik dibangun disukabumi sehingga menjadi tujuan para pasien di
Singapura dan Malaysia, Sekolah polisi dan Sekolah pertanian terbaik ada di
Sukabumi, Pelabuhan Kapal besar dibangun di Pelabuhanratu dan Ujunggenteng,
Lapangan terbang dibangun di Cikembar dan Pelabuhanratu, Percetakan dan
penerbitan besar berada di Sukabumi bahkan industri tekstil nasional dikuasai
oleh NV Tjiboenar Cisaat.
Banyak
tokoh penting yang bersekolah di Sukabumi termasuk tokoh islam, salah satunya
adalah ulama Garut KH Anwar Musyadad merupakan lulusan sekolah MULO sukabumi
yang notabene adalah sekolah kristen. Maka tak heran secara administratif
wilayah Sukabumi turut berkembang mulai dari pemisahan afdeling tahun 1871,
kemudian peningkatan status gemeente untuk kota Sukabumi serta status
regentschap atau kabupaten Sukabumi tahun 1921.
Seiring
perkembangan wilayahnya maka nilai strategis Sukabumi menjadi penting bagi
kolonialis Belanda, namun ada ganjalan yang selalu jadi duri dalam daging pada
penguasa kolonial yaitu ajaran islam. Salah satu yang ditakuti kaum kolonial
adalah ajaran islam untuk berjihad atas kesewenang-wenangan. Hal ini menjadi
perhatian serius menjelang abad ke 19. Pada tahun 1885, koran Het Nieuws van
den Dag menyebut Sukabumi sebagai sarang berkumpulnya jihadis.
Disebutkan
bahwa di Sukabumi, rakyat memiliki lima tempat di mana kelompok-kelompok agama
bisa berkumpul. Orang-orang yang ikut dalam kelompok-kelompok ini, yang
merupakan kaum fanatik, berkumpul setelah sholat Jumat untuk membahas Perang Sabil
atau Perang Suci. Ajaran tarekat menjadi sasaran kecurigaan pemerintah Hindia
Belanda karena dianggap sesat dan membahayakan.
Tanggal
5 September 1886, K.F Holle melaporkan kepada Gubernur Jendral Hindia Belanda
tentang keberadaan tareqat naqsabandiyah di Priangan barat termasuk sukabumi.
Hal ini diperkuat oleh laporan residen priangan tahun 1892 yang menyimpulkan
munculnya kebangkitan gerakan naqsabandiyah diwilayah sukabumi dan cianjur yang
membahayakan dan mulai merekrut warga untuk disesatkan sehingga perlu segera
diawasi.
Pada
tahun 1925 laporan bertema kekhawatiran terhadap tarekat ini juga diangkat oleh
Adviseur Voor Inlandsche Zaken, RA Kern, terhadap tarekat di wilayah Sukabumi
dan Cianjur yang berkembang di pesantren dan dipimpin para kiai kharismatis.
Beberapa
peristiwa penentangan dihubungkan dengan islam seperti pemberontakan Bapak
Bandros 1907 di Karang tengah, sabotase kabel telegraf di desa genteng tahun
1925, pemutusan kabel telefon di Cibadak dan Pelabuhanratu tahun 1926 dan
pelarian kasus Afdeling B ke Sukabumi
yang mengorbankan KH Ahmad Sanusi sebagai tersangka tanpa bukti. Karena hal ini
beliau akhirnya dibuang ke Batavia oleh pemerintah Hindia Belanda.
Belanda
melakukan segala cara untuk menjinakan islam di Sukabumi melalui cara mengirimkan
Dr Snouck Hurgronje ke Sukabumi pada tanggal 16 juli 1889 dalam rangka
mempelajari gerakan Islam. Dalam buku “Sundanese Print Culture in 19th Century”
tertulis bahwa seorang panghulu Sukabumi dianggap terlibat dalam tarekat
Naqsabandiyah dan rumornya semua orang Eropa akan dibunuh oleh kaum Islam
fanatik di Sukabumi.
Campur
tangan pemerintah juga bermaksud menghalangi kemajuan islam secara ekonomi yang
dilakukan melalui pejabat pemerintah, hal ini tercermin dalam perselisihan
anatara patih Sukabumi dengan Sayid Ahmad bin Salim As Segaf. Orientalis GAJ
Hazeu (1870-1929) pernah mengunjungi Masjid Agung Sukabumi pada akhir tahun
1907, upayanya untuk melihat sejauh mana peran masjid terhadap gerakan politik.
Dia
juga melakukan pengecekan atas aturan mengenai kas masjid yang ditujukan agar
kas masjid tidak terlalu tinggi. Pemerintah Hindia Belanda juga mencoba memecah
belah umat dengan membuat "daftar" ulama versi pemerintah sehingga
muncul istilah ulama Pakauman dan ulama non pakauman. KH Ahmad Sanusi dianggap
sebagai ulama radikal yang menentang mendoakan patih dalam setiap khutbah jumat
karena dianggap sebagai kaki tangan penjajah.
Hal
ini mengakibatkan terjadinya friksi antara KH Ahmad Sanusi dan KH Ahmad
Djoewaeni dalam beberapa hal sepertu pengambilan zakat yang dikendalikan
pemerintah. Kondisi ini menjadi kontraproduktif bagi pemerintah dan ulama,
bahkan akhirnya muncul istilah Dalem Jendol, julukan pada Patih dan Bupati yang
dianggap hanya memikirkan urusan perut.
Selain
itu pemerintah Hindia Belanda memfasilitasi pendirian kampung kristen di
Pangharepan (Cikembar) dengan tujuan salah satunya adalah meredam islam, bahkan
dilengkapi dengan rumah sakit kristen di Karang Tengah Cibadak.
Upaya
lainnya adalah melalui karantina dan sebutan haji untuk menetralisir para
jamaah haji yang pulang dari Mekkah dari faham Pan Islamisme karena pada masa
itu jamaah haji seringkali bukan sekedar beribadah, tapi tinggal berbulan-bulan
di Mekkah untuk belajar agama pada Syeikh Mekkah. Tujuan umum upaya ini tentu
saja untuk menciptakan umat islam yang lemah, yang leluasa untuk beribadah
sepuasnya tapi akan sangat dilarang untuk berpolitik atau mendiskusikan politik
apalagi jihad karena akan membahayakan eksistensi penjajah.
Namun
hal ini tak menghalangi penyebaran islam, diantaranya ada beberapa mualaf dari
bangsa Belanda seperti Louis Von Bichler seorang wanita Belanda asal Sukabumi
(Keluarga pegawai kereta api sekitar tahun 1920) yang sudah beribadah haji dua
kali dan meninggal serta dimakamkan di
Kota Makkah.
C. Penyebaran
dan Perkembangan Islam di Sukabumi
Para
ulama tetap konsisten mendakwahkan islam melalui jalur pendidikan non formal
yaitu pesantren. Pesantren dijadikan sebagai sarana pendidikan sekaligus sarana
perjuangan dengan cara menjauhkan diri dari jangkauan pihak kolonial dan
mendirikan pesantren ditempat terpencil seperti yang dilakukan oleh Syekh Tubagus Nur Husein yang medirikan
pesantren di Kampung pasantren pada tahun 1840, pesantren yang dianggap tertua di
Sukabumi dalam waktu yang bersamaan adiknya bernama Mbah Kosim mendirikan
pesantren di kampung Bojong Pacing.
Selain
itu pesantren juga dijadikan area perlawanan diam-diam dengan mengajarkan
semangat jihad kepada para santri seperti yang dilakukan oleh KH Hasan basri di
pesantren Al Hasaniyah yang didirikan tahun 1870. KH Hasan Basri dijuluki
Belanda sebagai Bintang sembilan setelah dalam sebuah perdebatan tentang
pendapatnya yang menyatakan bahwa disetiap kebederadaan air maka akan ada ikan.
Seorang
pejabat Belanda menantangnya utuk menunjukan ikan didalam buah kelapa, uniknya
saat buah kelapa dibuka ternyata ada ikan kecil (sunda: beunteur). Menjelang
akhir abad-19 pesantren di Sukabumi mengalami transformasi menjadi pergerakan
modern yang cukup ditakuti pemerintah kolonial.
Beberapa
pesantren yang didirikan pada masa ini misalnya pesantren Sukamantri (Al Falah)
yang didirikan KH Muhammad Siddiq pada tahun 1908 meluluskan banyak tokoh
gerakan islam di Sukabumi. Kemudian Sirojul Athfal Tipar yang didirikan KH
Masthuro Sirojul Athfal pada tahun 1920 dikemudian hari menjadi pilar
perjuangan islam yang cukup berpengaruh.
Selain
itu pesantren Al Amin Cicurug yang didirikan pada tahun yang sama. Sementara
Pesantren Genteng Babakan Sirna yang didirikan tahun 1924 menjadi semacam efek
domino terhadap peantren lain yang didirikan oleh KH Ahmad Sanusi yaitu
pesantren Syamsul Ulum. Gerakan pesantren tersebut melahirkan perjuangan hebat
pergerakan islam modern yang diusung KH Ahmad Sanusi.
Ada
pula pesantren Babakan Tipar/Assalafiyah yang didirikan KH Abdullah Mahfuz pada
tahun 1939 juga menunjukkan betapa beragamnya cara perjuangan pesantren saat
itu dalam melawan penjajahan.
Gerakan
islam di Sukabumi pada awalnya terdorong oleh Gerakan modern Islam dari luar
Sukabumi misalnya Syarekat Islam yang didirikan di Sukabumi pada tahun 1913.
Pada tahun itu juga, H. O. S. Tjokroaminoto, Presiden Sarekat Islam Pusat,
berkunjung ke Sukabumi.
Daerah-daerah
yang dikunjungi adalah basis Sarekat
Islam di Sukabumi yaitu Cicurug, Babakanpari, Kalapanunggal, Palasari
Girang, dan Jampang. Dalam kurun waktu 3 tahun saja Syarekat Islam di Sukabumi
sudah mempunyai anggota kurang lebih 500 orang.
Tokoh
penting Sarekat Islam Sukabumi adalah K.H. Ahmad Sanusi yang sejak Juli 1915
menjadi penasihat (adviseur) Sarekat Islam Sukabumi. Pengalaman dalam
organisasi Syarekat Islam ini mendorong KH. Ahmad Sanusi dan tokoh ulama
lainnya di Sukabumi untuk mendirikan Al Ittihajatul
Islam (AII) pada tahun 1931 dengan diketuai KH Ahmad Sanusi.
Para
pengikutnya diantaranya KH Syafei dari pesantren Pangkalan Cicurug, KH Basyumi dari pesantren Nyompong, KH Muhammad
Suja'i dan KH M. Badruddin dari pesantren Kadudampit, Cisaat. Pemerintah kolonial sangat gerah dengan
keberadaan AII karena ditengarai menjalin kerjasama dengan Pasundan, PI (Partai
Indonesia) dan PNI (Baru).
Banyak
anggota AII ini yang menjadi ketua daerah Partindo dan PNI (Baru). Tokoh-yokoh
AII juga banyak menerbitkan tulisan yang menentang pemerintah seperti
"Indonesia Iboe Kita", "Islam Dalam Politik International"
dan lain-lain yang dimuat dalam majalah Soewara Moeslim.
AII
kemudian mendirikan organisasi pemuda bernama Barisan Islam Indonesia (BII).
Sementara cabang Muhammadiyah mulai didirikan di Sukabumi tahun 1930 dan fokus
dalam pengembangan pendidikan Islam, kemajuan Muhammadiyah dalam peta
pergerakan Sukabumi mulai muncul sejak datangnya ulama Sumatera yaitu Abdul
Karim Amrullah (Tuan Haji, ayahnya Buya HAMKA) yang dibuang ke Sukabumi. Beliau
membantu menjadi penasehat Muhammadiyah Sukabumi.
Munculnya
kekuatan baru yang mengancam Hindia Belanda yaitu Jepang merubah peta politik
di Hindia Belanda. Pasca kegagalan perundingan Selabintana, Jepang dengan bulat
menyerang Hindia Belanda. Akhirnya Jepang berhasil mendarat di Banten dan
Eretan untuk selanjutnya bergerak ke Batavia dan Sukabumi.
Dalam
proses penguasaan kota Sukabumi Jepang menggunakan peghubung Jepang yang
beragama islam yaitu Abdullah Muniam Inada untuk menghubungi KH Ahmad Sanusi
guna membantu Jepang mengusir Belanda. Nama Inada kemudian disematkan pada
lapangan sepakbola yang dibangun jepang pada tahun 1943 yang kelak menjadi
lapangan danalaga.
KH
Ahmad Sanusi berfikiran bahwa tak mungkin menghadapi dua kekuatan besar kecuali
membiarkan mereka menghancurkan salah satunya terlebih dahulu. Akhirnya Jepang
bisa dengan mudah menghancurkan dan menguasai bangunan-bangunan vital sesudah
dibantu oleh para santri KH Ahmad Sanusi.
Jepang
akhirnya berhasil menguasai Sukabumi dan melakukan konsolidasi dengan
mendirikan organisasi-organisasi pembantu perang. Jepang juga memberi perhatian
pada umat islam dengan pembentukan Majelis Syuro Muslimin Indonesia serta
Majelis Islam Ala Indonesia. Selain itu Jepang membentuk Kantor urusan agama
yang disebut Shumubu dan mengorgaisir para santri dan ulama dalam laskar
Hisbullah dan Fisabilillah.
Perekrutan
laskar ini sangat ketat karena merupakan laskar bantuan perang untuk melindungi
Jawa. Konon syarat untuk menjadi laskar Hisbullah adalah usia maksimal 21
tahun, usia yang sangat tak takut dengan resiko, sementara laskar Fisabilillah
usia minimalnya 40 tahun, sehingga banyak orang tua yang bergabung karena ingin
mati dimedan tempur.
Jepang
juga menjadikan ulama sebagai juru penerang propaganda perang dan memberi ruang
seluas-luasnya bagi para kiai untuk memobilisasi rakyat dengan memanfaatkan isu
perlawanan anti barat dan kharisma ulama.
Mereka dikumpulkan di pendopo Sukabumi dan
dilakukan kursus ulama pemerintah secara rutin. Para ulama juga dijadikan alat
untuk mengumpulkan beras dari masyarakat untuk keperluan perang, hal ini
menimbulkan gejolak sehingga sebagian masyarakat seperti Mdi Cicurug menjuluki
ulama pemerintah sebagai Kiai Kuintal.
Penindasan
ini juga menjadikan sebagian ulama melakukan pembangkangan seperti yang
dilakukan oleh KH Ahmad Nadhir di Pesantren Bandang Cijurey, beliau mengajarkan
untuk menentang penindasan Jepang sehingga sempat ditangkap dan dipenjara di
Tegal Panjang. Jepang sempat akan meratakan kampung Bandang namun gagal karena
karomah Sang Kiai yang membuat kampung nampak terlihat seperti danau.
Pada
masa akhir masa kekuasaan Jepang para ulama turut berperan dalam persiapan
kemerdekaan. Tokoh Sukabumi seperti KH Ahmad Sanusi dan Mr Sjamsoedin yang
merupakan santrinya KH Ahmad Sanusi, menjadi anggota BPUPKI dan mempersiapkan
kemerdekaan Indonesia bersama para pemimpin nasional lainnya. Pasca kekalahan
Jepang oleh sekutu, untuk pertamakalinya Mesjid Agung Sukabumi mengibarkan
bendera merah putih menyambut proklamasi yang dikumandangkan oleh
Sukarno-Hatta.
Kalangan
islam dan para ulama menggaungkan perebutan kekuasaan di Sukabumi dari
pemerintah Jepang. Beberapa ulama masuk menjadi elemen penting dalam perebutan
kekuasaan ini diantaranya KH Abdurohim yang menjadi Panitia Lima sehingga
perebutan kekuasaan terselenggara dengan baik.
Selain
itu KH Atjoen Basjoeni diangkat menjadi ketua BKR Sukabumi, badan militer
pertama Republik Indonesia, sayangnya beliau kemudian diculik dan dibunuh
orang-orang tak dikenal saat ditugaskan ke yogyakarta. Para ulama dan santri
yang tergabung dalam Hisbullah dan Sabilillah menjadi komponen penting dalam
perang konvoi yang menghancurkan mental pasukan pemenang perang dunia II.
Uniknya
ada dua orang Jepang bernama Shiroy dan Wakayama yang membantu melatih para
pemuda di Wanasari, mereka merubah namanya menjadi Karta dan Soma dan kemudian
memeluk agama islam. Para santri digelorakan oleh para ulama dan konon sebelum
bertempur "dimandikan" oleh KH Ahmad Sanusi di alun-alun kota
Sukabumi. Sepak terjang para kiai di medan pertempuran melawan Inggris juga
sangat terkenal diantaranya KH Damanhuri yang tergabung dalam Hisbullah.
Kedua
tokoh ini (KH Ahmad Sanusi dan KH Damanhuri) sangat dikagumi oleh Kawilarang
yang menjadi komandan pasukan Siliwangi di Sukabumi pada masa agresi militer
Belanda I. Dalam beberapa operasi Kawilarang bertemu dengan KH Damanhuri dan
Dadi Abdullah disekitaran Sukabumi seperti di Gunung Guruh. Kemudian dari
kalangan santri yang cukup menonjol adalah Husein Bakhtiar di Cipriangan yang
menjadi tandem tempur pasukan Kala Hitam pimpinan Princen, seorang desersir
Belanda yang membelot ke pihak republik dan menjadi mualaf.
Princen
yang mengacau kepentingan Belanda di daerah Pada Asih, Kadudampit, Baros,
Sukaraja dan Gandasoli ini juga bekerjasama dengan seorang ulama dari
Pasirdatar yang tergabung dalam Sabilillah yaitu KH. Mahfudin. Selain itu
seorang ulama dari Cicurug bernama KH Muhammad Fadholi bahkan mengumpulkan para
perampok dan preman yang kemudian digerakan didaerah jakarta dan karawang untuk
bertempur melawan Belanda, laskar inilah yang menjadi cikal bakal pasukan Bambu
Runcing.
Hingga
pengakuan kedaulatan Republik Indonesia 27 Desember 1949, para ulama dan santri
terus aktif melakukan pertempuran yang menganggu pasukan Belanda di Sukabumi
yang dilakukan oleh KH Dadun Abdul Qohar, KH Mustafa Bisri Cantayan dan Habib
Syekh Salim Al Attas Tipar.
Masih
banyak ulama, ustad maupun santri lainnya yang mendakwahkan islam dan turut
berjuang mempertahankan negeri ini dengan darahnya. Mereka berhasil
menggelorakan semangat belajar dan juga semangat jihad melawan penjajahan.
SIMPULAN
Wacana
yang berkembang kuat adalah pendapat yang menyebutkan bahwa islam masuk ke
Sukabumi pada masa Sunan Gunung Jati dan Syekh Makhdum sekitar tahun 1480
hingga pertengahan 1500an.
Saat
Andries de Wilde mengelola wilayah ini dengan baik bekerjasama dengan para
kokolot dan ulama (yang disebutnya imam). Para kokolot kemudian mengajukan nama
untuk tanah yang diolahnya ini yaitu Sukabumi yang berarti kesenangan di bumi
atau tempat yang membuat kita betah untuk tinggal alias bumen-bumen.
Metode
yang digunakan dalam penyebaran islam ke Sukabumi diantaranya melalui
perkawinan, perdagangan, pendidikan, seni budaya dan tassawuf.
Para ulama tetap konsisten mendakwahkan islam melalui jalur pendidikan non formal yaitu pesantren. Pesantren dijadikan sebagai sarana pendidikan sekaligus sarana perjuangan dengan cara menjauhkan diri dari jangkauan pihak kolonial dan mendirikan pesantren ditempat terpencil seperti yang dilakukan oleh Syekh Tubagus Nur Husein yang medirikan pesantren di Kampung pasantren pada tahun 1840, pesantren yang dianggap tertua di Sukabumi dalam waktu yang bersamaan adiknya bernama Mbah Kosim mendirikan pesantren di kampung Bojong Pacing.
DAFTAR PUSTAKA
http://sukabumiupdate.com/detail/bale-warga/opini/41674-Memahami-Jejak-Islam-di-Sukabumi
Jaya, Ruyatna. 2003. Sejarah Sukabumi. Pemkot
Sukabumi.
Komentar
Posting Komentar