JURNAL TAFSIR QS. AL-BAQARAH [2]:171-173
TAFSIR QS. AL-BAQARAH [2]:171-173
Oleh Kelompok 6:
Mayang Alfiyatusya’diyyah, Siti
Suaebah
PAI B Semester III
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SUKABUMI
ABSTRAK
Makanan adalah suatu hal yang mendukung semua aktivitas yang akan
dilakukan oleh makhluk ciptaan Allah. Tanpa makanan
tubuh kita akan lemah dan tak bertenaga sehingga kita dapat melakukan aktivitas
dengan baik. Seperti kita tahu bahwa tidak semua makanan yang ada di dunia ini
bisa di makan atau di halalkan dalam Al-Qur’an. Karena makanan bisa memberikan
pengaruh buruk yang pada akhirnya bisa membuat tubuh kita sakit. Dalam hal ini
allah telah berfirman dalam Al-qur’an surat Al-baqarah
ayat: 171-173, bahwa Allah memerintahkan kepada hamba-hamba Nya yang mukmin
untuk memakan dari rezeki yang baik yang telah diberikan Allah kepada kita
semua dan hendaknya kita bersyukur kepada Allah atas hal tersebut. Bahwa segala
perkara yang telah Allah larang dalam Al-qur’an adalah mengandung hikmah atau
kebaikan untuk kita sebagai umatnya appaun yang diharamakan oleh Allah akan
berdampak tidak baik jika kita melakukannya, dalam surat Al-Baqarah ayat
171-173 ini Allah mengharamkan kita untuk memakan bangkai, darah, daging babi,
dan binatang yang disembelih atas nama selain Allah. hal ini sangat penting bagi kehidupan kita
sehari-hari karena makanan dari rezeki yang halal merupakan penyebab
terkabulnya do’a, sedangkan makan dari rezeki yang haram dapat menghambat
terkabulnya do’a.
Kata Kunci: Makanan, Perintah, Larangan.
A. Pendahuluan
Al-Qur’an adalah kitab suci umat islam
yang berisi firman-firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad dan
membacanya bernilai ibadah. Al-Qur’an berfungsi sebagai petunjuk atau pedoman
bagi umat manusia dalam mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Di
dalam Al-Qur’an terkumpul wahyu Allah yang menjadi petunjuk, pedoman dan
pelajaran bagi siapa saja yang mengamalkannya.
Salah satu firman Allah dalam Al-Qur’an adalah tentang anjuran kepada umat manusia
untuk memakan makana yang halal dan juga baik (thayyib), serta larangan
memakan makanan yag haram lagi membahayakan.
QS. Al-Baqarah ayat 171-173:
وَمَثَلُ
الَّذِيْنَ كَفَرُوْا كَمَثَلِ الَّذِيْ يَنْعِقُ بِمَا لاَ يَسْمَعُ اِلاَّدُعَاءً
وَنِدَاءً صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَايَعْقِلُوْنَ﴿١٧١﴾ يٰاَيُّهَاالَّذِيْنَ
اٰمَنُوْ كُلُوْا مِنْ طَيِّبٰتِ مَا رَزَقْنٰكُمْ وَاشْكُرُوْا لِلّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ
اِيَّاهُ
تَعْبُدُوْنَ ﴿١٧٢﴾ اِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ
الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيْرِ وَمَا اُهِلَّ بِهِ ى لِغَيْرِ اللهِ
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ باَغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا
اِثْمَ عَلَيْهِ اِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ﴿١۷۳﴾
Artinya: “Dan perumpamaan
orang-orang yang menyeru orang-orang kafir adalah seperti pengembala yang
memanggil binatang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka
tuli, bisu dan buta. Maka oleh sebab itu mereka tidak mengerti. Hai orang-orang
yang beriman makanlah diantara rezekimu yang baik-baik yang kami berikan
kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah. Jika benar-benar kepadanya kamu
menyembah. Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging
babi, dan binatang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi
barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya)sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang. (Qs. Al-Baqarah [2]:171-173)[1].
Dari ayat di atas dapat disimpulkan bahwa Segala sesutau yang ada di bumi
ini adalah halal dimakan agar mencukupi kebutuhan hidup manusia kecuali ada
bebrapa jenis yang diharamkan sebagaimana yang tercantum adalam Al-qur’an.
Pelarangan ini bukan karena Allah menginginkan agarhambanya mengalami kesulitan
dan ksesempitan, karena makanan yang haram itu dapat mengakibatkan terhalangnya
doa kita sekaligus dapat menggelapkan hati kita untuk cenderung kepada hal-hal
yang tidak baik, bahkan dapat menjerumuskan kita kedalam neraka.
B.
Tafsir QS. Al-Baqarah ayat 171
وَمَثَلُ
الَّذِيْنَ كَفَرُوْا كَمَثَلِ الَّذِيْ يَنْعِقُ بِمَا لاَ يَسْمَعُ
اِلاَّدُعَاءً وَنِدَاءً صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَايَعْقِلُوْنَ﴿١٧١﴾
Artinya: “Dan perumpamaan
orang-orang yang menyeru orang-orang kafir adalah seperti pengembala yang
memanggil binatang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka
tuli, bisu dan buta. Maka oleh sebab itu mereka tidak mengerti.” [2]
Maksudnya, perumpamaan orang yang
menyeru orang-orang kafir kepada kebenaran adalah seperti penggembala yang
berteriak. Rasul atau para juru dakwah di ibaratkan dengan penggembala, sedang
para pengikut tradisi yang usang itu seperti binatang. Mereka yang diajak itu
sama dengan binatang. Keduanya mendengar suara panggilan dan teriakan tetapi
tidak memahami atau tidak dapat memanfaatkan suara panggilan itu.
Ayat ini dapat juga berarti
orang-orang itu, dalam ibadah dan doa mereka kepada tuhan-tuhan mereka seperti
penggembala yang berteriak kepada binatangnya yang tidak mendengar. Disini,
orang-orang kafir itu diibaratkan dengan penggembala dan tuhan-tuhan yang
mereka sembah itu diibaratkan seperti binatang-binatang.
Orang-orang kafir yang
mempertahankan tradisi usang itu pada hakikatnya tuli, tidak memfungsikan alat
pendengar mereka sehingga mereka tidak dapat mendengar bimbingan, bisu, tidak
memfungsikan lidah mereka sehingga mereka tidak dapat bertannya dan berdialog,
dan buta tidak memfungsikan mata mereka sehingga mereka tidak dapat melihat
tanda-tanda kebesaran Allah, dan akhirnya mereka tidak dapat menggunakan
alat-alat itu untuk mendengar, melihat, dan berfikir sesuai dengan yang
dikehendaki Allah ketika menganugrahkannya, dan dengan demikian mereka tidak
dapat menggunakan akalnya (yakni tidak ada kendali yang menghalanginya
melakukan keburukan, kesalahan, dan mengikuti tradisi orang tua walau mereka
sesat atau keliru). Dean orang-orang mukmin dilarang mengikuti mereka.[3]
Kemusyrikan yang dilakukan kaum
kafir padamasa Rasulullah tidak lain merupakan warisan nenek moyang mereka.
Ketika diperintahkan untuk mengikuti syariat yang dibawa oleh Rasulullah.
Mereka mengabaikannya seraya berkata, “kami hanya mengikuti apa yang telah
dilakukan nenek moyang kami.”
Ibnu Al Ishaq, meriwayatkan dari
Ibnu Abbas bahwa ayat ini ditunjukkan kepada kaum Yahudi. Ketika Rasulullah
mengajak mereka untuk masuk Islam, mereka mengtakan, “kami hanya akan
mengikuti warisan nenek moyang kami.” Allah SWT kemudian menurunkan ayat
ini.
Ayat ini juga menceritakan
perumpamaan kaum musyrikin. Disebutkan bahwa Allah SWT. mengumpamakan kaum
musyrikin ini dengan binatang gembalaan. Ketika diajak untuk memluk islam dan
menjalankan syariat-syariat, mereka solah tuli, bisu, dan buta. Hal ini karena
hati mereka telah ditutup dengan kesesatan-kesesatan yang disematkan syetan.
jadi, mereka tidak bisa mencerna syariat yang disampaikan kepada mereka.[4]
Maka ayat diatas adalah berkaitan
dengan masalah akidah, juga mengungkapakan kejelekan orang yang taklid dalam
masalah akidah, yang mereka ini tidak mau berfikir dan merenung. Selanjutnya,
ayat ini menjelaskan hal-hal berkenaan dengan golongan yang tidak mengutamakan
akal pikiran dan tidak menghendaki petunjuk. Bila diserukan kepada mereka agar
mengikuti segala yang diturunkan oleh Allah, mereka tetap berpegang teguh
terhadap apa yang telah mereka pegang selama itu yang berasal dari nenek moyag
mereka. Orang-orang seperti itu sudah tidak tahu lagi tugasnya di bumi dan
sepertinya mereka tidak di beri telinga dan mata. Inilah puncak sindiran
terhadap mereka karena tidak mau menggunakan pikirannya. Mereka menutup
jendela-jendela pengetahuan dan hidayah, serta mereka cenderung menerima dan
tetap melaksanakan akidah syariat yang bukan dari Allah.[5]
C.
Tafsir QS. Al-Baqarah Ayat 172
يَۤاَيُّهَاالَّذِيْنَ
اٰمَنُوْ كُلُوْا مِنْ طَيِّبٰتِ مَا رَزَقْنٰكُمْ وَاشْكُرُوْا لِلّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ
اِيَّاهُ تَعْبُدُوْنَ ﴿١٧٢﴾
Artinya: “Hai orang-orang yang
beriman makanlah diantara rezekimu yang baik-baik yang kami berikan kepadamu
dan bersyukurlah kepada Allah. Jika benar-benar kepadanya kamu menyembah.”
Kesadaran iman yang bersemi dihati
mereka menjadikan ajakan Allah kepada orang-orang beriman sedikit berbeda
dengan ajakannya kepada seluruh manusia. Bagi orang-orang mukmin, tidak lagi
disebut kata halal, sebagaimana yang disebut pada ayat 168. Karena keimanan
yang tumbuh dalam hati merupakan jaminan mereka dari yang tidak halal. Mereka
disini bahkan diperintahkan untuk bersyukur dengan dorongan yang kuat yang
tercermin pada penutup aya 172 ini yaitu bersyukurlah kepada Allah jika
benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.
Syukur adalah mengakui dengan tulus
bahwa anugerah yang diperoleh semata-mata bersumber dari Allah sambil
menggunakannya sesuai tujuan penganugerahannya atau menempatkan pada tempat
yang semestinya.
Setelah menekankan perlunya memakan
makanan yang baik-baik, dijelaskan-Nya makanan yang buruk, dalam bentuk redaksi
yang mengesankan bahwa hanya yang disebut itu yang terlarang, walau pada
hakikatnya tidak demikian. [6]
Allah telah menyeru orang-orang yang
beriman agar menerima hukum syariat Allah, juga agar mengambil apa yang halal
dan meninggalkan yang haram. Dan, Allah mengingatkan kepada mereka bahwa hanya
allah lah satu-satunya pemebari rezeki dan membolehkan kepada mereka
memanfaatkan makanan-makan yang baik dari apa yang telah dia rezekikan. Maka,
allah member tahu mereka bahwa dia tidak melarang untuk mengambil yang baik
dari rezeki itu dan Allah melarang hambanya agar meninggalkan sesuatu yang
tidak baik dari rezeki itu.
Larang ini bukan karena Allah
menginginkan agar mereka mengalami kesulitan dan kesempitan dalam mencari
rezeki, sebab allah sendirilah yang melimpahkan rezeki kepada mereka. Allah
menginginkan mereka agar sebagai hamba bisa mensyukuri apa-apa yang berasal
dari Allah dan agar mereka bisa betul-betul beribadah kepada Allah tanpa adanya
penyekutuan. Maka, Allah mewahyukan kepada mereka bahwa syukur itu adalah
termanifestasikan dengan ibadah dan taat serta ridha dengan apa-apa yang telah
allah berikan.[7]
Allah menyuruh hamba-hambanya yang
beriman memakan yang baik-baik dari rezeki yang telah dianugerahkannya kepada
mereka. Oleh karena itu, hendaklah mereka bersyukur kepanya jika mereka mengaku
sebagai hambanya. Memakan makana halal merupakan sarana untuk diterimanya doa
dan ibadah, sebagai mana makanan yang haram dapat menghambat diterimanya doa
dan ibadah.
Suatu ketika Rasulullah menceritakan
seeorang yang bepergian jauh. Dia sangat dekil dan berdebu, lalu mengangkat
kedua tangannya ke langit dan berkata, “Ya Rabbi, Ya Rabbi”, sementara
makannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan member makanan kepada
orang lainpun dengan makanan yang haram. Maka, bagiamana mungkin doanya itu
akan dikabulkan.[8]
D.
Tafsir QS. Al-Baqarah Ayat 173
اِنَّمَا
حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيْرِ وَمَا اُهِلَّ بِهِ
ى لِغَيْرِ اللهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ
باَغٍ
وَلَا عَادٍ فَلَا اِثْمَ عَلَيْهِ اِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ﴿١۷۳﴾
Artinya:”Sesungguhnya Allah hanya
mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang (ketika
disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan
terpaksa (memakannya)sedang dia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui
batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha
penyayang.”
Yang dimaksud bangkai adalah
binatang yang berembus nyawanya tidak dengan cara yang sah, seperti yang mati
tercekik, dipukul, jatuh, ditanduk, dan diterkam binatang buas, namun tidak
sempat di semebelih (dan yang disembelih untuk berhala). Dikecualikan dari
pengertian bangkai adalah binatang air (ikan dan sebagainya) dan belalang.
Binatang yang mati karena ketuaan
atau mati karena terjangkit penyakit pada dasarnya mati karena zat beracun,
sehingga bila dikonsumsi manusia, sangat mungkin mengakibatkan keracunan,
demikian juga binatang yang mati karena tercekik dan dipukul, darahnya
mengendap didalam tubuhnya. Ini mengidap zat beracun yang memebahayakan
manusia.
Darah, yakni darah yang mengalir
bukan yang substansi asalnya membeku, seperti hati dan limpa.
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar :
اُحِلَّ
لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ السَّمَكُ وَالْجَرَادُ وَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ
Artinya:”Allah telah menghalalkan
kepada kita dua jenis bangkai dan darah yakni, ikan dan belalang, hati dan
limpa.”
Dalam ayat itu juga disebutkab bahwa
sesuatu yang termasuk haram adalah daging babi, baik itu disembelih maupun
tidak. Disamping kedaannya yang menjijikan itu, Allah telah mengharamkannya
sejak masa yang panjang. Belakangan ini juga, banyak para peneliti yang
menemukan cacing pita yang amat berbahaya dalam daging babi tersebut.
Selanjutnya, binatang yang
disembelih disebut nama selain Allah, artinya bahwa binatang semacam itu baru
haram dimakan bila disemebelih dalam keadaan menyebut selain nama Allah.
Kasih sayang Allah melimpah kepada
makhluk sehingga dia selalu menghendaki kemudhan untuk manusia. Allah tidak
menetapkan sesuatu yang menyulitakan mereka, dank arena itu pula larangan
diatas dikecualikan oleh bunyi lanjutan ayat: ”tetapi, barang siapa dalam
keadaan terpakasa memakannya sedang ia tidak menginginkannya dan tidak melampauai
batas, maka tidak ada dosa baginya”.
Keadaan terpaksa adalah keadaan yang
di duga dapat mengakibatkan kematian, sedang tidak menginginkannya adalah tidak
memakannya padahal ada makanan halal
yang dapat dia makan, tidak pula memakannya untuk memnuhi keinginan
seleranya.sedang, yang dimaksud tidak melampauai batas adalah tidak memakannya
dalam kadar yang melebihi kebutuhan menutup rasa lapar dan memlihara jiwanya.
Keadaan terpaksa dengan ketentuan demikian ditetapkan Allah karena sesungguhnya
Allah maha pengampun lagi maha penyayang.[9]
Penutup ayat ini dipahami juga oleh
sebagian ulama sebagai isyarat bahwa keadaan darurat tidak dialami seseorang
kecuali akibat dosa yang dilakukannya. penjelasan tentang makanan-makanan yang
diharamkan diatas, dikemukakan dalam konteks mencela masyarakat jahiliyah, baik
di Makkah maupun di Madinah, yang memakannya.[10]
Dari sini jelas sekali hubungan
antara pengharaman dan penghalalan dengan pengesaan Allah. Maka, disni ada
hubungan yang kuat antara akidah pengesaan Allah dengan masalah halal dan haram,
bahkan dari segala hukum syara yang lain. Dan bersama dengan ini agama Islam
juga tidak melupakan keadaan-keadaan darurat yang mungkin akan memaksa
seseorang untuk memakan barang yang diharamkannya, bila itu benra-benar
dilakukan karena terpaksa untuk sekedar memenuhi paksaan suasana darurat itu dn
tidak melampaui batas sebagimana yang terdapat pada penutup ayat 173.
“Tetapi, barang siapa yang terpaksa
(memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas,
maka tidak ada dosa baginya sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha
penyanyang.”
Ayat tersebut sebagai asas umum bagi
segala yang diharamkan. Jadi, walupun disi hanya disebutkan yang berkenaan
dengan makanan, tetapi “pada dasarnya hukum itu berlaku dan meliputi segala
hal darurat yang mengandung paksaan”. Maka kapan saja ditemukan kondisi
darurat yang mengancam kehidupan, yang bersangkutan diperkenankan melepas kesulitan
ini dengan melakukan sesuatu yang terlarang dalam batas-batas menghilangkan
kedaruratan itu saja, tidak lebih. [11]
SIMPULAN
Tafsir QS. Al-Baqarah ayat 171, 172
dan 173 maksudnya adalah perumpamaan orang yang menyeru orang-orang kafir
kepada kebenaran adalah seperti penggembala yang berteriak. Rasul atau para
juru dakwah di ibaratkan dengan penggembala, sedang para pengikut tradisi yang
using itu seperti binatang. Mereka yang diajak itu sama dengan binatang.
Keduanya mendengar suara panggilan dan teriakan tetapi tidak memahami atau
tidak dapat memanfaatkan suara panggilan itu.
Allah telah menyeru orang-orang yang
beriman agar menerima hukum syariat Allah, juga agar mengambil apa yang halal
dan meninggalkan yang haram. Dan, Allah mengingatkan kepada mereka bahwa hanya
allah lah satu-satunya pemebari rezeki dan membolehkan kepada mereka
memanfaatkan makanan-makan yang baik dari apa yang telah dia rezekikan. Maka,
allah member tahu mereka bahwa dia tidak melarang untuk mengambil yang baik
dari rezeki itu dan Allah melarang hambanya agar meninggalkan sesuatu yang
tidak baik dari rezeki itu.
Allah telah mengharamkan bangkai,
darah, daging babi, dan binatang yang disembelih tidak menyebut nama Allah.
barang siapa dalam keadaan terpakasa memakannya sedang ia tidak menginginkannya
dan tidak melampauai batas, maka tidak ada dosa baginya.
SARAN
Penulis tentunya masih menyadari jika jurnal diatas masih terdapat banyak kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki jurnal tersebut dengan berpedoman
pada banyak sumber serta kritik yang membangun dari semua pembaca.
DAFTAR
PUSTAKA
Qutub, Sayyid. 2000. Tafsir fi Zhilalil Qur’an. Jakarta:
Gema Insani Press.
Nasib
Ar-Rifa’i, Muhammad. 2012. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Depok:
Gema Insani.
Shafiyurrahman Al-MubarakFury, Syaikh.
2012. Tafsir Ibnu Katsir.
Bandung: Sigma Creative Media.
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir
Al-mishbah. Jakarta: Lentera Hati.
Jalaludin Muhammad bin Ahmad
Al-Mahalli. Terjemah Tafsir Jalalain.
Depok: Senja Media Utama. 2018. Hal 73.
DR. Abdullah bin Muhammad bin
Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh. Lubabut Tafsir min Ibni katsir.
Jakarta: Pustaka Imam As-Syafi’i. 2017.
[1] Jalaludin Muhammad bin Ahmad Al-Mahalli. Terjemah Tafsir Jalalain. Depok: Senja Media Utama. 2018. Hal 73.
[2] DR. Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh. Lubabut Tafsir min Ibni katsir. Jakarta: Pustaka Imam As-Syafi’i. 2017. Hal:406.
[3] Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-mishbah. Jakarta: Lentera Hati, 2002. Hal: 460-461
[4] Syaikh Shafiyurrahman Al-MubarakFury, Tafsir Ibnu Katsir. Bandung: Sigma Creative Media, 2012. Hal: 338
[5] Sayyid Qutub, Tafsir fi Zhilalil Qur’an. Jakarta: Gema Insani Press, 2000. Hal: 185
[6] Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-mishbah. Jakarta: Lentera Hati, 2002. Hal: 461.
[7] Sayyid Qutub, Tafsir fi Zhilalil Qur’an. Jakarta: Gema Insani Press, 2000. Hal: 186.
[8] Muhammad Nasib Ar-Rifa’I, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Depok: Gema Insani. 2012. Hal: 209.
[9] Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-mishbah. Jakarta: Lentera Hati, 2002. Hal: 463.
[10] Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-mishbah. Jakarta: Lentera Hati, 2002. Hal: 463.
[11] Sayyid Qutub, Tafsir fi Zhilalil Qur’an. Jakarta: Gema Insani Press, 2000. Hal: 187.
Komentar
Posting Komentar